Minggu, 31 Oktober 2021

Cerita Pendek : mBah Woto dan Fransiska

MBAH WOTO[1] DAN FRANSISKA

Cerita Pendek Ria FK Sindau

 

Andaikata tidak mengirimkan material di SMK Pantes Terakreditasi, aku tidak bertemu dengan Mbah Woto, orang yang sering aku dengar sebagai pelaku seni di Kota Ngawi ini. Juga aku tidak pernah tahu selengkapnya tentang kehidupan yang telah, sedang, dan akan aku jalani ini.

Tiga hari sebelumnya berturut-turut aku mengirimkan material berupa pasir, beton eser, dan semen pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Minggu tentu libur. SMK ini mau membangun lantai 3 di sisi timur, mengingat animo anak-anak SMP untuk melanjutkan ke sekolah ini makin tinggi.

Senin itu aku kesulitan menaruh material. Di luar, di tepi jalan ring road yang membujur ke timur sudah penuh mobil. Anak-anak duduk-duduk. Ada juga yang berjalan mondar-mandir.

Security mempersilakan aku masuk saja. Kemudian menaruh material berupa keramik sebanyak 200 meter persegi di teras timur sebelah utara. Kenekku, Santoko, menurunkannya.

Baru aku sadari bahwa SMK Pantes Terakreditasi sering dijadikan langganan tempat menyelenggarakan Festival Lomba Seni Siswa Nasional yang sering dikenal dengan FLSSN di tingkat Kabupaten Ngawi.

Halaman parkir sudah penuh dengan sepeda motor, dan belasan mobil. Guru-guru SMP mendampingi para siswanya yang mengikuti lomba. Lomba yang diselenggarakan berupa: menulis puisi, menulis cerita pendek, desain grafis, desain poster, dan desain batik.

Hal ini mengingatkan aku sewaktu berada di bangku SMP dulu. Aku bersekolah di SMP Untung Saja Bisa Bersekolah. Dan sekolahku dulu sama sekali tidak mengirimkan muridnya untuk mengikuti lomba.

Usai menurunkan keramik, Santoko aku ajak pergi ke kantin. Kantin SMK Pantes Terakreditasi tersembunyi. Kami memesan nasi pecel. Aku memesan minuman jeruk hangat, sedangkan Santoko memesan wedang kopi hitam pekat. Kami tidak banyak bicara. Memang kami suka bicara seperlunya. Kalaupun berbicara seperti berbisik-bisik. Biasa yang kami bicarakan, tentang rencana pengiriman material atas perintah Pak Pakih, bos kami.

Baru menikmati sarapan pagi pada pukul 09.10 di samping kami ada tiga orang guru. Belakangan aku ketahui bernama: Pak Harso, Pak Karim, dan Pak Woto. Nama yang kusebut terakhir ini mendominasi pembicaraan. Dari setiap pembicaraan teman-temannya memanggil Mbah Woto.

“Masih ingat Pak Harso, saya dulu bekerja di mana?” ujar Mbah Woto.

“Meskipun teman njenengan, saya tidak ingat betul,” ujar Pak Harso.

Pak Karim diam saja.

“Ngajar saya dulu pindah-pindah. Mulai dari SMP Watulima, MTs Tiadatara, MI Citaterindah. Dan yang terakhir sebelum sekarang, saya di SMK Cakranegara.”

“Bukankah Mbah Woto dulu Sarjana Teknik, tapi kenapa banting setir jadi Guru Seni Drama?”

“Nah itu yang bakal saya kemukakan.”

Aku tetap menikmati sarapan nasi pecel, dan makin aku pelankan. Barangkali ada yang menarik dari cerita yang disampaikan oleh Mbah Woto.

“Usai kuliah, Pak Harso tahu kan? Aku berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Entah berapa perusahaan yang saya lamar. Tak satupun yang nyanthol. Lebih-lebih terkait dengan ijazah yang saya kantongi.”

“Bengkel manapun sudah njenengan datangi?”

“Sudah. Barangkali perawakan saya yang membuat pemilik bengkel yang memandang saya tidak pantas saya sebagai pegawainya. Lihatlah, cara saya berpakaian dari dulu hingga sekarang ya seperti ini. Baju masuk, hem batik lengan pendek. Sabuk hitam, celana menyesuaikan warna dengan hem yang saya pakai. Barangkali itu yang membuat saya tidak pantas bekerja di bengkel atau perusahaan yang berbaut teknik.”

“Lalu?”

“Jurus pamungkas yang mungkin bisa saya pakai untuk persyaratan melamar pekerjaan. Dan pekerjaan yang sama sekali mengubah jalan hidup saya. Saya tekuni dunia teater.”

“Dunia yang sama sekali berbeda!”

“Betul, Pak Harso. Saya melamar pekerjaan di SMK Cakranegara. Kepala sekolah menimbang-nimbang lamaran yang saya ajukan. Akhirnya waktu itu, beliau berkata,’Oke, Dik Woto, saya terima, tetapi dengan syarat, nanti pada waktu acara perpisahan, njenengan saya percaya untuk membuat satu paket drama. Tentu terkait dengan pendidikan. Sanggup, Dik Woto?’”

“Njenengan sanggup?”

“Apapun yang terjadi, saya sanggupi. Padahal bekal seni drama itu saya peroleh hanya ketika saya kuliah dulu ikut grup drama kampus. Satu-satunya mahasiswa yang antusias ke seni drama adalah saya sendiri. Yang lainnya memang linier dengan jurusannya, yaitu Bahasa dan Seni. Berangkat dari bekal itu, saya memang benar-benar nekad. Daripada saya tidak mendapat pekerjaan.

“Ada kesempatan untuk melatih anak-anak selama empat minggu. Itupun di sela-sela anak-anak kelas XII menghadapi Try Out, Ujian Sekolah, dan Ujian nasional.

“Yang saya libatkan, anak-anak kelas XI yang benar-benar antusias di bidang seni drama.

“Nah ada satu siswa yang berkesan, namanya Fransiska.

Seketika itu aku terkejut, namanya sama dengan nama isteriku. Aku dan Santoko berpandangan. Entah apa yang dipikirkan Santoko.

“Setiap kali latihan, mereka saya latih disiplin dalam berlatih, terutama hadir tepat waktu. Satu ketika Diki, Buli, Terma, dan Kanisu sudah berkumpul. Satu anak yang belum hadir. Tunggu punya tunggu sampai lima belas menit, Fransiska belum hadir. Waktu itu kami latihan di Stadion. Pak Harso tahu kan, stadion itu terpakai pada waktu-waktu tertentu saja. Saya milih siang di atas pukul 14.00. Anak-anak saya suruh berlatih improvisasi, sedangkan saya mencari-cari di luar stadion. Tentu saja percuma. Lalu saya berkeliling di bagian dalam stadion.

Sampailah pada ruang toilet yang terbuka. Maksud saya, ruang toilet ini tidak beratap. Saya lihat ada kepulan asap. Saya dekati ternyata bau rokok.

Saya tunggu, saya memutar otak. Apa yang harus saya lakukan? Saya memberanikan diri melihat dari ruang toilet yang lain. Benar juga, dari atas saya lihat, Fransiska sedang merokok. Baru kali ini saya melihat anak perempuan demikian ngelepusnya merokok. Makin lama ia makin menjadi-jadi dalam mengepulkan asap rokok.

“Seperti yang Pak Harso tahu, dasar watak saya. Saya lalu berimprovisasi,’Siska keluar!!!’

“Tidak ada reaksi. Pintu tidak terbuka,’Sekali lagi, Siska keluar!!!

“Tetap tidak ada reaksi. ‘Sekali lagi, Siska keluar!!!’ Spontan pintu yang terbuat dari tripleks saya tendang. Saya lihat Siska tidak sedang buang hajat baik kecil maupun besar. Dia tampak menikmati isapan rokoknya. Makin menjadi-jadi.

“Spontan, saya rampas rokok yang ada di tangannya. Ternyata, ia mengambil satu batang rokok, ia nyalakan, dan ia begitu menikmati. Asap rokok membubung. Saya ingat betul rokoknya bermerek Pasir Kaliki.

“Saya rampas lagi. Dia mengambil malah dua batang rokok. Ia nyalakan bareng, dan ia isap. Asap rokok makin membubung. Tidak terbayang, andaikata ruang toilet itu tertutup, niscaya ruang toilet itu penuh dengan asap. Mungkin saya akan bernyanyi,’Lihat toiletku penuh dengan asap...’

“Saya tempeleng pipi kirinya. Bahkan sampai di ujung bibir kirinya berdarah, dan gigi serinya patah.

Aku kaget bukan alang kepalang. Namanya sama. Kini ada info gigi seri Fransiska patah. Jangan-jangan yang dibicarakan Mbah Woto adalah isteriku.

“Tidak cukup itu sebungkus rokok yang tersisa saya rampas, dan saya buang jauh-jauh. Lalu... saya peluk erat-erat. Ada apa kau, Siska?

“Pecahlah tangisnya. Dengan tangis yang berderai, ia bercerita,’Baru kali ini ... ada orang yang memperhatikan saya ... Di rumah sama sekali tidak ada yang memperhatikan saya ...

“Bukankah Siska, anak orang yang berkecukupan? Siska pun berkata,’Setiap kali saya selalu diloloh uang. Tapi perhatian....? Sama sekali tidak ada, Pak..! Sama sekali tidak ada... Maka tempelengan Bapak inilah yang paling saya hargai. Kalau perlu tempeleng sekali lagi atau berkali-kali biar saya puas.

“Ini anak gila. Atau memang benar-benar butuh perhatian. ‘Kalau perlu pukul kepala saya, Pak, dengan kayu penutup pintu ini!’ pintanya.

“Saya rangkul sekali lagi, layaknya bapak terhadap anaknya. Akhirnya kuajak keluar ruang toilet. Dalam perjalanan untuk bergabung dengan teman-temannya, saya sampaikan bahwa ia akan menjadi tokoh utama. Dan ini menjadi inspirasi saya untuk memperbaiki skenario yang akan saya terapkan dalam acara perpisahan nanti.

“Nanti, tolong saya harap Bapak Ibumu hadir ya. Sungguh, Siska. Ia pun mengangguk.

“Singkat kata, acara perpisahan pun digelar. Skenario saya ubah lokasinya. Fransiska berperan sebagai Dila, sedangkan Diki sebagai Koni. Yang lainnya, saya lupa. Yang jelas bahwa anak-anak benar-benar tampil prima.

“Tatkala Fransiska tampil sebagai Dila, ia benar benar menghayati.

‘Aku benar-benar seorang diri. Percuma...aku punya orang tua... yang tidak pernah memperhatikan aku sama sekali. Apa gunanya uang, kalau sedikitpun tidak ada perhatian...’ isa tangis pun tak terbendung.

Dari balik layar, saya lihat para siswa banyak yang meneteskan air mata, bahkan terisak-isak. Dan yang paling berkesan, Siska benar-benar mampu melakukan improvisasi. Ketika ia mengatakan ‘ percuma...aku punya orang tua...’ ia menunjuk bapak ibunya yang kebetulan duduk di deretan paling depan.

Tidak terduga, bapak dan ibunya naik panggung. Dan ini di luar skenario saya. Untungnya hampir berakhir. Saya lihat bapak dan ibunya memeluk Dila, maksud saya Fransiska.

Mataku berkaca-kaca mendengar penuturan Mbah Woto. Beliau benar-benar bisa membawakan cerita. Drama yang sesungguhnya. Kuusap dengan tisu. Santoko diam sambil memandang aku, dan mungkin berkata dalam hatinya,”Mengapa menangis.”

“Pak Harso tahu siapa bapak Fransiska? Itu Pak Pakih!”

Seperti tersambar gelegek. Aku tercekat,”Jadi apa yang dibicarakan Mbah Woto itu mertuaku dan isteriku?” Tapi aku tidak berkata kepada para guru. Juga tidak pada Santoko, kenekku.

Setelah kubayar, aku berpamitan kepada pemilik kantin sekolah dan juga kepada ketiga guru itu.

Pikap Elsa hitam bernopol B 3217 AN melaju langsam seirama dengan irama hatiku. Kami siap menerima tugas berikutnya dari bos kami, Pak Pakih, mertuaku.

Terbayang isteriku yang sedang hamil tujuh bulan, yang tiga bulan yang lalu kami menyelenggarakan acara tingkepan. Perlukah aku bertanya kepada isteriku tentang masa lalunya? Yang penting aku menjadi bagian keluarga besar Pak Pakih yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Aku tidak pusing dengan ijazah Sarjana Seni Rupaku, meski aku tidak jadi pegawai negeri. Meski aku jadi sopir mertuaku. Yang penting isteriku menerima keadaanku. Itu saja.

Serenan, 18 April 2015 M / 28 Jumadil – Akhir 1436 H pada pukul 19:46 WIB

 

 



[1] Berdasarkan inspirasi dan informasi dari Pak Suwoto, Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Ngawi (kini 2020 di SMP Negeri 2 Kendal). Saat kami mengantarkan anak-anak yang mengikuti lomba FLSSN Kabupaten Ngawi bidang: menulis puisi, menulis cerita pendek, desain grafis, desain poster, dan desain batik di SMK PGRI 4 (Panter) Ngawi.