MBAH WOTO[1]
DAN FRANSISKA
Cerita Pendek Ria FK Sindau
Andaikata
tidak mengirimkan material di SMK Pantes Terakreditasi, aku tidak bertemu
dengan Mbah Woto, orang yang sering aku dengar sebagai pelaku seni di Kota
Ngawi ini. Juga aku tidak pernah tahu selengkapnya tentang kehidupan yang
telah, sedang, dan akan aku jalani ini.
Tiga
hari sebelumnya berturut-turut aku mengirimkan material berupa pasir, beton
eser, dan semen pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Minggu tentu libur. SMK ini
mau membangun lantai 3 di sisi timur, mengingat animo anak-anak SMP untuk
melanjutkan ke sekolah ini makin tinggi.
Senin
itu aku kesulitan menaruh material. Di luar, di tepi jalan ring road yang
membujur ke timur sudah penuh mobil. Anak-anak duduk-duduk. Ada juga yang
berjalan mondar-mandir.
Security
mempersilakan
aku masuk saja. Kemudian menaruh material berupa keramik sebanyak 200 meter
persegi di teras timur sebelah utara. Kenekku, Santoko, menurunkannya.
Baru
aku sadari bahwa SMK Pantes Terakreditasi sering dijadikan langganan tempat
menyelenggarakan Festival Lomba Seni Siswa Nasional yang sering dikenal dengan
FLSSN di tingkat Kabupaten Ngawi.
Halaman
parkir sudah penuh dengan sepeda motor, dan belasan mobil. Guru-guru SMP
mendampingi para siswanya yang mengikuti lomba. Lomba yang diselenggarakan
berupa: menulis puisi, menulis cerita pendek, desain grafis, desain poster, dan
desain batik.
Hal
ini mengingatkan aku sewaktu berada di bangku SMP dulu. Aku bersekolah di SMP
Untung Saja Bisa Bersekolah. Dan sekolahku dulu sama sekali tidak mengirimkan
muridnya untuk mengikuti lomba.
Usai
menurunkan keramik, Santoko aku ajak pergi ke kantin. Kantin SMK Pantes
Terakreditasi tersembunyi. Kami memesan nasi pecel. Aku memesan minuman jeruk
hangat, sedangkan Santoko memesan wedang kopi hitam pekat. Kami tidak banyak
bicara. Memang kami suka bicara seperlunya. Kalaupun berbicara seperti
berbisik-bisik. Biasa yang kami bicarakan, tentang rencana pengiriman material
atas perintah Pak Pakih, bos kami.
Baru
menikmati sarapan pagi pada pukul 09.10 di samping kami ada tiga orang guru.
Belakangan aku ketahui bernama: Pak Harso, Pak Karim, dan Pak Woto. Nama yang
kusebut terakhir ini mendominasi pembicaraan. Dari setiap pembicaraan
teman-temannya memanggil Mbah Woto.
“Masih
ingat Pak Harso, saya dulu bekerja di mana?” ujar Mbah Woto.
“Meskipun
teman njenengan, saya tidak ingat betul,” ujar Pak Harso.
Pak
Karim diam saja.
“Ngajar
saya dulu pindah-pindah. Mulai dari SMP Watulima, MTs Tiadatara, MI
Citaterindah. Dan yang terakhir sebelum sekarang, saya di SMK Cakranegara.”
“Bukankah
Mbah Woto dulu Sarjana Teknik, tapi kenapa banting setir jadi Guru Seni Drama?”
“Nah
itu yang bakal saya kemukakan.”
Aku
tetap menikmati sarapan nasi pecel, dan makin aku pelankan. Barangkali ada yang
menarik dari cerita yang disampaikan oleh Mbah Woto.
“Usai
kuliah, Pak Harso tahu kan? Aku berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari.
Entah berapa perusahaan yang saya lamar. Tak satupun yang nyanthol. Lebih-lebih
terkait dengan ijazah yang saya kantongi.”
“Bengkel
manapun sudah njenengan datangi?”
“Sudah.
Barangkali perawakan saya yang membuat pemilik bengkel yang memandang saya
tidak pantas saya sebagai pegawainya. Lihatlah, cara saya berpakaian dari dulu
hingga sekarang ya seperti ini. Baju masuk, hem batik lengan pendek. Sabuk
hitam, celana menyesuaikan warna dengan hem yang saya pakai. Barangkali itu
yang membuat saya tidak pantas bekerja di bengkel atau perusahaan yang berbaut
teknik.”
“Lalu?”
“Jurus
pamungkas yang mungkin bisa saya pakai untuk persyaratan melamar pekerjaan. Dan
pekerjaan yang sama sekali mengubah jalan hidup saya. Saya tekuni dunia
teater.”
“Dunia
yang sama sekali berbeda!”
“Betul,
Pak Harso. Saya melamar pekerjaan di SMK Cakranegara. Kepala sekolah
menimbang-nimbang lamaran yang saya ajukan. Akhirnya waktu itu, beliau
berkata,’Oke, Dik Woto, saya terima, tetapi dengan syarat, nanti pada waktu
acara perpisahan, njenengan saya percaya untuk membuat satu paket drama. Tentu
terkait dengan pendidikan. Sanggup, Dik Woto?’”
“Njenengan
sanggup?”
“Apapun
yang terjadi, saya sanggupi. Padahal bekal seni drama itu saya peroleh hanya
ketika saya kuliah dulu ikut grup drama kampus. Satu-satunya mahasiswa yang
antusias ke seni drama adalah saya sendiri. Yang lainnya memang linier dengan
jurusannya, yaitu Bahasa dan Seni. Berangkat dari bekal itu, saya memang
benar-benar nekad. Daripada saya tidak mendapat pekerjaan.
“Ada
kesempatan untuk melatih anak-anak selama empat minggu. Itupun di sela-sela
anak-anak kelas XII menghadapi Try Out, Ujian Sekolah, dan Ujian nasional.
“Yang
saya libatkan, anak-anak kelas XI yang benar-benar antusias di bidang seni
drama.
“Nah
ada satu siswa yang berkesan, namanya Fransiska.
Seketika
itu aku terkejut, namanya sama dengan nama isteriku. Aku dan Santoko berpandangan.
Entah apa yang dipikirkan Santoko.
“Setiap
kali latihan, mereka saya latih disiplin dalam berlatih, terutama hadir tepat
waktu. Satu ketika Diki, Buli, Terma, dan Kanisu sudah berkumpul. Satu anak
yang belum hadir. Tunggu punya tunggu sampai lima belas menit, Fransiska belum
hadir. Waktu itu kami latihan di Stadion. Pak Harso tahu kan, stadion itu
terpakai pada waktu-waktu tertentu saja. Saya milih siang di atas pukul 14.00.
Anak-anak saya suruh berlatih improvisasi, sedangkan saya mencari-cari di luar stadion.
Tentu saja percuma. Lalu saya berkeliling di bagian dalam stadion.
Sampailah
pada ruang toilet yang terbuka. Maksud saya, ruang toilet ini tidak beratap.
Saya lihat ada kepulan asap. Saya dekati ternyata bau rokok.
Saya
tunggu, saya memutar otak. Apa yang harus saya lakukan? Saya memberanikan diri
melihat dari ruang toilet yang lain. Benar juga, dari atas saya lihat,
Fransiska sedang merokok. Baru kali ini saya melihat anak perempuan demikian ngelepusnya
merokok. Makin lama ia makin menjadi-jadi dalam mengepulkan asap rokok.
“Seperti
yang Pak Harso tahu, dasar watak saya. Saya lalu berimprovisasi,’Siska
keluar!!!’
“Tidak
ada reaksi. Pintu tidak terbuka,’Sekali lagi, Siska keluar!!!
“Tetap
tidak ada reaksi. ‘Sekali lagi, Siska keluar!!!’ Spontan pintu yang terbuat
dari tripleks saya tendang. Saya lihat Siska tidak sedang buang hajat baik
kecil maupun besar. Dia tampak menikmati isapan rokoknya. Makin menjadi-jadi.
“Spontan,
saya rampas rokok yang ada di tangannya. Ternyata, ia mengambil satu batang rokok,
ia nyalakan, dan ia begitu menikmati. Asap rokok membubung. Saya ingat betul
rokoknya bermerek Pasir Kaliki.
“Saya
rampas lagi. Dia mengambil malah dua batang rokok. Ia nyalakan bareng, dan ia
isap. Asap rokok makin membubung. Tidak terbayang, andaikata ruang toilet itu
tertutup, niscaya ruang toilet itu penuh dengan asap. Mungkin saya akan
bernyanyi,’Lihat toiletku penuh dengan asap...’
“Saya
tempeleng pipi kirinya. Bahkan sampai di ujung bibir kirinya berdarah, dan gigi
serinya patah.
Aku
kaget bukan alang kepalang. Namanya sama. Kini ada info gigi seri Fransiska
patah. Jangan-jangan yang dibicarakan Mbah Woto adalah isteriku.
“Tidak
cukup itu sebungkus rokok yang tersisa saya rampas, dan saya buang jauh-jauh.
Lalu... saya peluk erat-erat. Ada apa kau, Siska?
“Pecahlah
tangisnya. Dengan tangis yang berderai, ia bercerita,’Baru kali ini ... ada
orang yang memperhatikan saya ... Di rumah sama sekali tidak ada yang
memperhatikan saya ...
“Bukankah
Siska, anak orang yang berkecukupan? Siska pun berkata,’Setiap kali saya selalu
diloloh uang. Tapi perhatian....? Sama sekali tidak ada, Pak..! Sama sekali
tidak ada... Maka tempelengan Bapak inilah yang paling saya hargai. Kalau perlu
tempeleng sekali lagi atau berkali-kali biar saya puas.
“Ini
anak gila. Atau memang benar-benar butuh perhatian. ‘Kalau perlu pukul kepala
saya, Pak, dengan kayu penutup pintu ini!’ pintanya.
“Saya
rangkul sekali lagi, layaknya bapak terhadap anaknya. Akhirnya kuajak keluar
ruang toilet. Dalam perjalanan untuk bergabung dengan teman-temannya, saya
sampaikan bahwa ia akan menjadi tokoh utama. Dan ini menjadi inspirasi saya
untuk memperbaiki skenario yang akan saya terapkan dalam acara perpisahan
nanti.
“Nanti,
tolong saya harap Bapak Ibumu hadir ya. Sungguh, Siska. Ia pun mengangguk.
“Singkat
kata, acara perpisahan pun digelar. Skenario saya ubah lokasinya. Fransiska
berperan sebagai Dila, sedangkan Diki sebagai Koni. Yang lainnya, saya lupa.
Yang jelas bahwa anak-anak benar-benar tampil prima.
“Tatkala
Fransiska tampil sebagai Dila, ia benar benar menghayati.
‘Aku
benar-benar seorang diri. Percuma...aku punya orang tua... yang tidak pernah
memperhatikan aku sama sekali. Apa gunanya uang, kalau sedikitpun tidak ada
perhatian...’ isa tangis pun tak terbendung.
Dari
balik layar, saya lihat para siswa banyak yang meneteskan air mata, bahkan
terisak-isak. Dan yang paling berkesan, Siska benar-benar mampu melakukan
improvisasi. Ketika ia mengatakan ‘ percuma...aku punya orang tua...’ ia
menunjuk bapak ibunya yang kebetulan duduk di deretan paling depan.
Tidak
terduga, bapak dan ibunya naik panggung. Dan ini di luar skenario saya.
Untungnya hampir berakhir. Saya lihat bapak dan ibunya memeluk Dila, maksud
saya Fransiska.
Mataku
berkaca-kaca mendengar penuturan Mbah Woto. Beliau benar-benar bisa membawakan
cerita. Drama yang sesungguhnya. Kuusap dengan tisu. Santoko diam sambil
memandang aku, dan mungkin berkata dalam hatinya,”Mengapa menangis.”
“Pak
Harso tahu siapa bapak Fransiska? Itu Pak Pakih!”
Seperti
tersambar gelegek. Aku tercekat,”Jadi apa yang dibicarakan Mbah Woto itu
mertuaku dan isteriku?” Tapi aku tidak berkata kepada para guru. Juga tidak
pada Santoko, kenekku.
Setelah
kubayar, aku berpamitan kepada pemilik kantin sekolah dan juga kepada ketiga
guru itu.
Pikap
Elsa hitam bernopol B 3217 AN melaju langsam seirama dengan irama hatiku. Kami
siap menerima tugas berikutnya dari bos kami, Pak Pakih, mertuaku.
Terbayang
isteriku yang sedang hamil tujuh bulan, yang tiga bulan yang lalu kami
menyelenggarakan acara tingkepan. Perlukah aku bertanya kepada isteriku
tentang masa lalunya? Yang penting aku menjadi bagian keluarga besar Pak Pakih
yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Aku tidak pusing dengan ijazah Sarjana Seni
Rupaku, meski aku tidak jadi pegawai negeri. Meski aku jadi sopir mertuaku.
Yang penting isteriku menerima keadaanku. Itu saja.
Serenan,
18 April 2015 M / 28 Jumadil – Akhir 1436 H pada pukul 19:46 WIB
[1] Berdasarkan inspirasi
dan informasi dari Pak Suwoto, Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Ngawi
(kini 2020 di SMP Negeri 2 Kendal). Saat kami mengantarkan anak-anak yang
mengikuti lomba FLSSN Kabupaten Ngawi bidang: menulis puisi, menulis cerita
pendek, desain grafis, desain poster, dan desain batik di SMK PGRI 4 (Panter)
Ngawi.