Rabu, 28 Januari 2015

KURIKULUM BERORIENTASI MANFAAT DAN SEKOLAH BERBASIS AGAMA

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sepanjang perjalanan bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan ini, kurikulum telah mengalami pergantian beberapa kali. Mulai dari kurikulum 1968, kemudian Kurikulum 1975. Sembilan tahun kemudian, Kurikulum 1984. Lalu diikuti Kurikulum 1996, 2004, 2006 (KTSP). Dan yang terakhir, tidak berumur panjang, yaitu Kurikulum 2013. Dalam pembelajaran, kurikulum-kurikulum ini selalu berorientasi tujuan. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) selalu dikemukakan tujuan pembelajaran, baik tujuan instruksional umum, maupun tujuan instruksional khusus. Tujuan pembelajaran itu seperti tujuan menempuh suatu perjalanan. Misalkan dari Wonokromo siswa dapat melaksanakan perjalanan sampai pelabuhan Tanjung Perak. Kalau siswa sudah sampai di pelabuhan Tanjung Perak, berarti tujuan pembelajaran itu tercapai. Lalu apa manfaatnya? Siswa tidak pernah bisa memanfaatkan dari tujuan yang dimaksud. Yang penting sudah sampai tujuan. Maka wajar saja bahwa selama ini kurikulum yang berorientasi tujuan, tidak pernah menunjukkan manfaat yang signifikan. Kalau diambil pokoknya saja: Pokoknya tujuan tercapai, tuntaslah sudah. Itulah kurikulum yang tidak berorientasi manfaat. Lalu kapan ada kurikulum yang berorientasi manfaat? Kita tunggu saja sampai 2016 (10 tahun berlakukanya Kurikulum 2006/KTSP). Juga, akhir-akhir ini marak sejumlah siswa SD yang berbondong-bondong masuk sekolah bukan SMP (sekolah umum) tetapi sekolah yang muatan agamanya lebih banyak seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs). Mengapa? Ini disebabkan oleh kurangnya jam pelajaran bagi pendidikan agama. Para orang tua pun bagaimanapun secara naluri fithriyah ingin anak-anaknya bermoral mulia (akhlaq al - karimah). Maka wajar, mereka ingin anak-anaknya mendapat pembelajaran agama yang lebih daripada di sekolah umum. Lalu sekolah umum (SMP) bak pak jenggot yang kebakaran jenggot berusaha menggenjot muatan agamanya dengan cara menyelenggarakan kuliah tujuh menit (kultum) sebelum pelajaran dimulai, tartil Qur'an, shalat Dhuha, kegiatan ekstrakurikuler Taman Pendidikan Al - Qur'an, peringatan hari besar Islam, dan sebagainya. Memang sah-sah saja menyelenggarakan hal semacam. Yang penting tidak panas-panas tahi ayam. Artinya penyelenggaraan kegiatan keagamaan seperti itu jangan hanya mendekati Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Lalu setelah siswa baru diterima, kegiatan semacam lenyap alias raib bagai ditelan bumi. Ada pula SD-SD yang "berlangganan" siswa-siswanya bersekolah di SMP (satu-satunya sekolah lanjutan tingkat pertama di kecamatan) agar di SD-SD tersebut ada pembinaan pramuka sepekan sekali. Hal yang bagus dan itu perlu disambut baik. Caranya penggalang terap yang ada di SMP bisa melakukan kunjungan dan praktik membimbing adik-adiknya yang siaga di SD. Sebaran para penggalang terap di SD-SD sungguh bakal menarik simpati SD-SD setempat dan sekitarnya. Tentu pihak Kwarcab pun jangan kebakaran jenggot: KOK NGGA LEWAT LEMDIKACAB YA? Tentu saja pihak Kwarcab harus introspeksi bahwa selama ini kiprahnya bagai di atas angin saja, tidak pernah turun ke pelosok-pelosok gugus depan (gudep). Ayo maju terus adik-adik penggalang terap, yang penting kalian sedikit demi sedikit memperoleh wawasan kependidikan dan ilmu kependidikan dari para pembimbing yang ada di gugus depan baik di SMP maupun di SD. Selamat berkiprah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar