Rabu, 24 Juni 2015

CERITA PENDEK : BIMBINGAN MENULIS CERITA PENDEK 01

Oleh Kusfandiari Abu Nidhat Setahun sekali, Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLSSN) diselenggarakan. Di tingkat kabupaten, FLSSN diselenggarakan untuk seleksi para peserta yang ikut atau diikutkan. Salah satu di antara lomba yang diselenggarakan, ialah Lomba Menulis Cerita Pendek (Cipta Cerpen). Sebagai pembimbing, guru Bahasa Indonesia atau guru mata pelajaran lain yang berkompeten, membimbing siswa yang diikutkan. Istilah diikutkan, karena rata-rata di sekolah tidak diadakan seleksi, melainkan langsung ditunjuk (sebagai jalan pintas). Calon peserta dilatih beberapa kali pertemuan. Setelah diberikan gambaran mengenai struktur cerita pendek dan contohnya, mereka ditugasi menulis cerita pendek.Pada pertemuan berikutnya, mereka ditagih hasil karyanya. Sayangnya, rata-rata guru pembimbing tidak pernah menunjukkan hasil karya sendiri. Rata-rata guru pembimbing hanya menunjukkan contoh karya orang lain. Sebagai pembimbing, penulis berusaha menunjukkan hasil karya sendiri, agar calon peserta tahu bagaimana suka dan dukanya menulis cerita pendek. Terhadap hasil karyanya, penulis memberikan bimbingan dengan menunjukkan kekurangannya. Hal yang penting diperhatikan ialah agar calon peserta tidak patah arang. Mereka harus diberi bekal bahwa demi kesempurnaan tulisan harus disunting. Berikut ini contoh cerita pendek Dyah Ayu Sukma yang sudah mengalami penyuntingan. Dyah telah berusaha menulis cerita pendek. MAAFKAN AKU! Cerita Pendek Dyah Ayu Sukma Teeeet . . . teeeet!! Terdengar bel ganti pelajaran, masuk jam ke-3. Usai mata pelajaran matematika, ganti mata pelajaran bahasa Indonesia. Seperti hari-hari sebelumnya, menghadapi ulangan harian aku selalu dihantui ketidakmampuanku menjawab soal-soal. Bu Dyah keluar, Bu Rini masuk. Kelas senyap. Teman-teman sudah siap dengan lembar jawaban ulangan. Aku gelisah. Seperti biasa pertemuan diawali dengan salam. Bu Rini memecahkan kesenyapan,”Untuk ulangan harian kali ini tempat duduk kalian sesuai nomor urut absen!” “Nomor urut absen? Itu berarti aku tidak sebangku dengan Abel. Mati kutu aku!” batinku. Kegelisahanku pun bertambah. Teman-teman berpindah tempat duduk. Di deret depan mulai kiri duduklah Abbas, Abel, Adilah, Ardian, Arsus, Atikah, Arwatik, Azidan. Kemudian deret kedua Badu, Bambang, Bayu atau aku, Bondan, Boniman, Burhan, Bustami, dan Buyung. Deret ketiga dan keempat ditempati teman-teman lain, berurutan sesuai dengan nomor urut absen. Ini berarti aku tidak mendapat pasokan jawaban dari Abel. Lembar soal dibagikan Bu Rini. Aku makin gelisah. Teman-teman sudah mulai mengerjakan. Ya, kali ini aku harus mandiri menjawab. Aku baca berkali-kali tiap-tiap soal. Teks bacaan benar-benar tidak aku pahami. Sekaligus aku tidak bisa menjawab. Aku tidak berkutik apabila menghadapi soal-soal dengan teks yang panjang-panjang. Meskipun soal itu berupa tes pilihan ganda yang tinggal memilih satu dari empat item jawaban. Selalu ragu-ragu memilih. Ketika sudah sampai soal kesebelas dari empat puluh butir soal, aku sudah kehabisan napas. Tak urung aku masih tergantung pada Abel. Entah sampai kapan. Barangkali sampai di kelas IX nanti. Itupun kalau aku naik kelas. Secarik kertas kutulisi nomor-nomor yang aku tidak bisa menjawab. Kulemparkan ke arah Abel. Tepat di atas mejanya. Bu Rini tidak tahu, karena beliau asyik mencermati buku daftar nilai. Sambil menunggu balasan dari Abel, aku pura-pura menjawab atau menandai soal-soal yang membingungkan. Tidak berapa lama Abel pun melemparkan kertas ke arahku. Tapi sial. Lemparan itu jatuh di bawah meja Adilah di depanku. Saat itu Bu Rini tahu. “Abel!” teriak Bu Rini lalu mendekati Abel dan memungut kertas. “Mati aku!” batinku. “Keluar kau Abel! Seperti biasa bagi siswa yang melanggar, kerjakan di ruang perpustakaan atau ruang BK” Bu Rini melakukan isolasi terhadap siswa yang melanggar. Aku merasa bersalah terhadap Abel. Abel mematuhi perintah Bu Rini. Ini berarti nilai bahasa Indonesiaku bakal jeblok. “Bel, maaf ya atas tindakanku kemarin, kau dihukum Bu Rini mengerjakan soal-soal bahasa Indonesia di ruang perpustakaan,” kataku kepada Abel sewaktu aku melakukan balapan liar di jalan beraspal penghubung dua desa. “Ngga apa, nggak usah dipikir,” jawab Abel,”wah, rantai sepeda motormu perlu diberi pelumas, Bayu” lanjutnya mengalihkan pembicaraan. “Betul, Bel,” aku mengambil pelumas di dalam boks di bawah jok, sepeda motor pun aku nyalakan, biar mudah melumasi rantainya. “Aku bantu, Bayu,” tanpa berpikir panjang Abel meminta botol olikans dan melumasi rantai yang mesinnya sedang menyala. “Hati-hati, Abel,” kataku. “Ya..... Aaaaaaaaaaaaaah aduh!” “Abeeel!” aku berteriak. Aku lihat ibu jari Abel berdarah-darah. Rupa-rupanya ibu jarinya terseret rantai sepeda motor yang berputar. Segera saja Abel kularikan ke puskesmas. Sial, ibu jarinya retak, ada sobekan memanjang dan tampak dijahit. Abel kesakitan. Aku benar-benar merasa bersalah. Betapapun aku benar-benar harus mengakui bahwa Abel sahabat terbaikku. ‘Di mana ada Bayu di situ ada Abel’ atau ‘Di mana ada Abel di situ ada Bau’, begitu kata teman-teman. Hari Kamis aku sakit. Surat keterangan dokter aku titipkan Abel. Aku benar-benar beristirahat di rumah hari itu. Tetapi aku tidak bisa nyenyak tidur. Aku hanya terbaring di tempat tidur. Sekira pukul 09.30 hapeku berbunyi nyaring. Aku angkat. “Bayu,” terdengar dengan suara asing dan dari nomor yang tidak terdaftar di hapeku. “Ya, dengan siapa saya bicara?” “Aku Zul, Zulkarnain.” “Abel........” terdengar terisak. “Ya, ada apa dengan Abel, Zul?” “Abel . . . . meninggal, Bayu....” “Benar, Zul? Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un.” Jangan-jangan gara-gara mengantar surat izinku atau sebab-sebab lain. “Jam kedua tadi Abel diminta teman-teman untuk memfotokopi suplemen LKS. Itu tugas Pak Yasin.” Aku teringat bahwa hari Kamis jam pertama dan kedua mata pelajaran IPS yang disajikan oleh Pak Yasin. “Nah, sewaktu kembali dari fotokopi ia menyeberang jalan. Ia tidak menyadari bahwa ada sepeda motor dipacu kencang.” Air mataku sudah tak terbendung lagi, tapi aku tetap mendengarkan berita dari Zul. “Yang nabrak siapa?” “Koirul, itu pesaingmu dalam balapan liar tempo hari.” Koirul anak desa tetangga sebelas yang tidak melanjutkan sekolah. Ia hanya bersekolah sampai di kelas V SD. “Terima kasih, Zul infonya.” “Ya, kau istirahat saja. Ini sekedar info.” Aku harus takziah, tak peduli aku sakit. Ayah dan ibu tidak berada di rumah. Dan aku harus ke rumah duka. Dengan susah payah aku sampai di rumah duka, teman-teman sudah ada di sana. Beberapa guru juga ada di sana. Semua mata tertuju kepadaku. Dan aku menangis terisak-isak. Aku dekati jenazah yang terbujur. Dan air mata ini tak terbendung. “Maafkan aku, Abel.......... Tuhan, ampunilah dosa-dosanya.” Berikutnya semua tampak gelap. *** Diunggah dan telah mengalami penyuntingan pada Kamis Kliwon, 25 Juni 2015 M/ 08 Ramadhan 1436 H pukul 11.33 Di Serenan, Pangkur, Ngawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar