Rabu, 24 Juni 2015
CERITA PENDEK : BIMBINGAN MENULIS CERITA PENDEK 02
BENARKAH AKU MASIH BUTUH IBU?
Oleh Kusfandiari Abu Nidhat
Ketika para peserta mengikuti Lomba Menulis Cerita Pendek (Cipta Cerpen) mereka harus benar-benar siap dengan konsep. Artinya inspirasi sudah lengkap sebelum ujung penanya menyentuh lembaran kertas. Jangan sampai mencari-cari. Sudah barang tentu sikap jujur menjadi landasan yang kuat. Artinya berangkat dari sekolah menuju tempat lomba tidak membawa konsep, kerangka karangan, atau contekan. Juga dilarang keras membawa hasil karya dan langsung disetorkan. Untuk hal ini, panitia sudah mengantisipasi dengan lembaran kertas folio (blangko) yang berstempel.
Guru pembimbing membesarkan hati calon peserta dengan mengatakan,"Kamu pasti bisa!". Juga tentu memberikan bekal yang cukup terkait dengan inspirasi. Selain itu, guru pembimbing tidak perlu dan tidak penting memberikan penekanan,"Kamu harus menjadi juara!". Perkara yang satu ini bukan target. Target utama, ialah calon peserta bisa mengikuti dengan baik sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Yakinlah tatkala mereka mengikuti lomba, mereka sebenarnya mengalami dan menghayati bagaimana rasanya mengikuti lomba. Dan hal itu tidak mungkin mereka lupakan di masa mendatang. Juga menjadi bekal rasa percaya diri dalam mengikuti lomba berikutnya. Itu saja.
Berikut contoh cerita pendek yang ditulis Milenia Rasyidatul Munawaroh selama dalam bimbingan.Cerita pendek ini telah mengalami penyuntingan. Milenia menyadari bahwa setiap tulisan perlu disunting agar tulisan menjadi sempurna dan enak dibaca.
BENARKAH AKU MASIH BUTUH IBU?
Cerita Pendek Milenia Rasyidatul Munawaroh
Ibuku tergolong tipe orang yang suka menasihati. Begitu sukanya, nasihatnya selalu datang bertubi-tubi, tidak peduli yang mendengarkan nasihat itu sudah kekenyangan. Ya kekenyangan nasihat, seperti aku.
Nasihatnya berupa suruhan dan larangan. Begitu gencarnya, Ibu mesti menyuruh ini dan itu. Juga melarangku jangan begini dan jangan begitu. Semua kurasakan sebagai dikte yang berlebih-lebihan. Kalau sudah demikian. Aku jadi sebal, dan aku ingin berlari sejauh-jauhnya dari ibu. Tetapi apalah dikata, aku tidak bisa berlari sejauh mungkin. Atau kalau aku keluar rumah, toh tidak akan berapa lama. Aku kembali lagi.
Ibu selalu membangunkan aku agar tak terlambat ke sekolah. Beliau setiap menyiapkan sarapan untuk ayah dan aku. Beliau benar-benar penuh perhatian kepadaku, anak semata wayang.
Dibanding Ibu, Ayah tidak banyak bicara. Beliau lebih banyak diam. Paling banter memberiku uang saku. Itu pun tanpa banyak bicara. Paling-paling beliau berkata,”Hati-hati, Dinda!”
Sekolah menjadi tempat pelarianku dari keceriwisan Ibu.
“Ayo pulang, Dinda” kata Randy temanku.
“Kenapa pulang? Kita kan bisa main-main dulu di sekolah!” kataku tegas.
“Lho kau ngga bosan tinggal di sekolah?”
“Ngga tuh, justru aku bosan tinggal di rumah!”
“Gimana sih, Dinda?”
Begitulah aku sering pulang terlambat. Sesampai di rumah, Ibu selalu bertanya ini itu terkait keterlambatanku. Kalau sudah demikian, ingin saja telingaku aku tutup rapat-rapat dengan gabus tutup botol. Atau sering aku memutar musik keras-keras dari hape lewat headset yang aku pasang di telinga.
Di sekolah, aku sudah tidak bisa berkonsentrasi dengan mata pelajaran, lebih-lebih Matematika dan IPA. Di rumah aku selalu memperoleh mata pelajaran “menyimak” yang tidak ada habis-habisnya.
“Ya ampun Dinda, kamu dari mana aja? Ibu dan ayah khawatir,” kata Ibu.
“Gimana sih, Ibu. Anak baru pulang dimarahi. Kehujanan malah dimarahi,”teriakku sambil membanting tas di kursi.
“Sudah, jangan ribut terus... Dinda, mana obatnya?” tanya Ayah.
“Aduh, aku lupa, Ayah,” jawabku enteng.
“Kau ini bagaimana sih, Dinda. Bisamu lupa melulu?” tanya Ibu.
“Yang namanya lupa ya ngga ingat. Gimana sih, Ibu?” sahutku.
Kubanting pintu keras-keras. Suara menggelegar. Di dalam kamar mandi, ganti baju. Sesudah itu aku langsung makan, karena sedari tadi perutku sudah keroncongan. Gak lama kemudian azan maghrib berkumandang, aku malah asyik-syik nonton TV.
“Kamu ini baru pulang udah nonton TV, cepet shalat dan belajar!” perintah ibuku.
“Ibu ini belajar, shalat, belajar, shalat capek tau. Sesekali main gitu loo, Bu” bentakku.
Aku bergegas pergi ke kamar dan tidur, karena aku udah capek dan ngantuk berat.
Hari-hariku terisi dengan kegiatan yang itu-itu saja. Membosankan.
Pagi bangun kesiangan. Kalau ada PR, malas kukerjakan malam hari. Atau pagi baru teringat, mengerjakannya tergesa-gesa. Atau mencontek pekerjaan teman sewaktu sampai di sekolah. Pagi yang selalu penuh dengan kepanikan. Mandi pagi tidak segar. Makan pagi tidak nikmat. Berangkat ke sekolah cepat-cepat. Pikiran tegang.
Ternyata Ibu bersitekun melayani aku, meski diiringi dengan “kicauan” yang senantiasa mengiang-ngiang di telinga. Ayah diam seribu bahasa. Mereka sering mengajak makan pagi bersama. Tetapi aku tidak pernah menikmati kebersamaan.
“Uhuk...uhuk...uhuk.... aaa...aaiirr air, air mana air?” ucapku terbata karena aku tersedak makanan yang kumakan.
Suatu pagi aku tersedak. Ibu pun mengingatkan.
“Pelan-pelan, Dinda sayang,” nasihat ibuku sambil menyodorkan air untukku.
“Dinda lagi cepet-cepet, Bu. Nanti terlambat. Tapi Ibu selalu ngajak ribut,” bentakku.
“Ya sudah, nanti hati-hati di jalan. Hari ini Ibu ada keperluan. Kalau pulang nanti, Ibu sudah menyiapkan makan siang. Usahakan tidur siang biar ngga penat,” ucap ibuku.
“Emang gue pikirin, bukan urusan gue. Urusi saja pekerjaan Ibu sendiri! Aku ngga diurusi Ibu juga ngga apa-apa kok. Kan aku sudah gede, ngga perlu Ibu lagi!,” ujarku.
“Dinda, kamu jangan ngomong begitu!” bentak Ayah.
“Tapi bener kan, Yah, aku sudah gede? Sudah ya Yah, aku mau berangkat dulu,” ucapku.
“Mana salam buat ibu?” tanya Ayah.
“Ngga perlu!” jawabku.
Sepeda motor kukendarai kencang-kencang. Pikiran melayang-layang ke mana-mana. “Kenapa aku harus jadi anak ibuku? Kenapa ibu harus hidup? Kenapa ibu tak mati saja, Tuhan?”. Aku benar-benar jengkel terhadap Ibu. Tiba di sekolah pukul 07.15.
Jam pertama mata pelajaran Fisika. Kebetulan Pak Harto tidak hadir. Dia sedang sakit. Suasana kelas menjadi ramai. Perasaan senang dan kecewa bercampur aduk. Senang ada guru yang tidak hadir. Kecewa, PR yang kukerjakan tidak dibahas di dalam kelas, sehingga aku tidak tahu prestasiku.
Jam pertama berlalu. Jam kedua pun berlalu dengan keramaian ala kelas kami. Menabuh bangku sekeras-kerasnya dan sekena-kenanya. Bernyanyi bersama sekeras-kerasnya dan sekena-kenanya. Tidak satupun guru piket yang hadir. Perasaaankupun kacau balau.
Tiba-tiba Pak Satpam datang ke kelas kami. Aku dipanggil supaya menghadap guru BK di ruang Bimbingan. “Ada apa? Mengapa Bu Susana memanggilku?” Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
Sesampai di ruang Bimbingan, ternyata Ayah sudah menungguku di sana.
“Kau diminta pulang oleh Ayahmu, Dinda,” ujar Bu Susana.
“Ibumu di rumah sakit,” kata Ayah.
“Di rumah sakit? Kan tadi pamitnya ada keperluan, dan tidak ke rumah sakit, Ayah?” tanyaku.
“Sudahlah, ayo kita ke rumah sakit. Dinda izin, Bu. Saya ajak ke rumah sakit,” ujar ayah kepadaku dan kepada Bu Susana.
“Baik, Pak. Dinda saya beri izin. Hati-hati, Pak. Hati-hati, Dinda,” ujar Bu Susana.
Aku tidak sabar menunggu jawaban dari Ayah. Tetapi Ayah merahasiakan. Perjalanan ke rumah sakit dalam pikiran yang kacau balau. Jangan-jangan ...?
Sesampai di rumah sakit, Ayah mengajakku langsung ke UGD. Di depan pintu kamar UGD, aku langsung menangis histeris. Paman Darsono menasihati, tidak aku gubris. Adikku pun menangis pula.
“Ada apa, Dik? Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Kakak, Ibu di kamar,” jawab adikku sambil menunjuk pintu berkaca,”Ibu tidak bisa apa-apa.”
“Ngga mungkin ... Ini nggak mungkin terjadi. Semua ini gara-gara Dinda, Ayah. Dinda yang menyumpah ibu mati. Dinda anak durhaka, Ayah,” teriakku histeris.
“Sudah nak. Ini semua sudah merupakan takdir Tuhan,” ucap ayahku sambil memelukku erat.
Aku berlari secepat kilat untuk melihat ibuku. Pintu kamar kubuka lebar-lebar. Aku langsung menubruk Ibu yang terbaring tak berdaya. Air mataku menetes tak terbendung. Aku pun meminta maaf.
Setelah kucurahkan semua isi hatiku tiba-tiba keajaiban datang. Di layar monitor, detak jantung Ibu terlihat tidak datar, pertanda kondisi jantungnya membaik.
“Dokter.... dokter ... Ibu hidup lagi,” teriakku.
Ayah, Paman Darsono, dan adik sudah ada di belakangku. Mereka memancarkan cahaya wajah yang berbinar.
Tak lama kemudian dokter datang. Dokter langsung menangani ibuku dengan cepat. Aku sangat terheran-heran tapi jujur aku merasa senang. Aku masih bisa minta maaf kepada ibuku. Ini sangat aneh bin ajaib.
Setelah dua minggu koma dan melewati masa kritisnya, akhirnya ibuku sadar. Kuucapkan minta maat yang sebesar-besarnya pada ibuku.
Mulai saat itu juga aku mulai sadar aku masih butuh ibu. Aku berjanji pada kedua orangtuaku sebelum menyesal nantinya. Aku akan selalu menyayangi mereka. Aku akan berperilaku lebih baik nantinya. Aku berjanji.
“Maafkan aku, ibu, ayah, Adik. Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi,” ujarku.
“Iya Nak, tak apa-apa” jawab Ayah dan Ibuku serentak.
Diunggah dan disunting pada Kamis Kliwon, 25 Juni 2015 M/ 08 Ramadhan 1436 H pukul 11.47.
Di Serenan - Pangkur - Ngawi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar